Bisa Dikatakan Dewasa
sering kali kita mendengar kata-kata dewasa di benak kita dan kita sendiri pun bertanya-tanya kepada diri sendiri bagaimana sih seseorang itu bisa dikatakan sudah dewasa,tentunya hal ini bukan hanya dewasa fisiknya melainkan hati dan akal fikirannya merupakan poin yang terpenting..dan timbullah dari saya untuk mencari tahu bagaimana kita kita itu bisa dikatakan dewasa..
mengutip dari http://duadua.blogsome.com/ bahwasannya disini mungkin sedikit dijelaskan tentang arti sebuah kedewasaan.Ketika ,kita memutuskan untuk menjadi lebih dewasa, kita mengetahui bahwa kita harus belajar untuk itu. Sebab, sesuatu yang baru tidak akan bisa dilakukan, kecuali dengan mempelajarinya. Salah satu bentuk pembelajaran adalah mengetahui detail dari sebuah persoalan.
Mari kita kuliti sampai esensi kata dewasa. Dewasa berarti bisa menempatkan sesuatu secara tepat. Jadi, kebanyakan orang tidak bisa dikatakan dewasa secara utuh. Kebanyakan orang, dewasa pada beberapa sisi dan tidak dewasa pada sisi yang lain. Tapi, dengan pembelajaran, sebuah kematangan-yaitu sisi kedewasaan yang lebih banyak daripada sisi ketidakdewasaan- dapat diraih. Sebuah kematangan yang ditandai dengan tercapainya sebagian besar ciri-ciri kedewasaan.Kedewasaan mempunyai ciri-ciri yaitu: sikap yang tepat, keberanian, kesabaran, tanggung jawab, percaya diri dan berpikir secara luas. Ini adalah penyederhanaan dari berbagai macam ciri. Ciri yang pertama, sikap yang tepat. Orang yang ingin belajar untuk lebih dewasa harus mengetahui bagaimana bersikap yang tepat pada kondisi, situasi dan orang yang berbeda-beda. Bagaimana kita bersikap kepada yang lebih tua tentu berbeda dengan bagaimana kita bersikap dengan kawan sebaya, apalagi dengan yang lebih muda.
Juga bagaimana kita bersikap yang tepat pada kondisi yang mengharuskan kita seperti itu. Cara kita berbicara, bertingkah, bercanda, dan lain-lain juga harus secara tepat. Kita bisa mempelajari hal ini di kitab Fiqhul Akhlaq wal Muamalat bainal Mu’minin karya Syaikh Mustafa Al ‘Adawy (Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Fiqih Akhlak, terbitan Qisthi Press)
Ciri yang kedua adalah keberanian. Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, keberanian adalah salah satu bentuk kesabaran. Keberanian adalah sikap menahan diri dan terus melangkah walaupun muncul ketakutan, ketidakberdayaan, sedikit harapan dan rasa sakit. Jadi, keberanian bukan hanya dalam bentuk kekerasan. Orang yang masih berjuang di tengah kekurangan, adalah orang yang berani. Seorang pengusaha dengan modal tidak seberapa adalah orang yang berani. Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya, karakter keberanian sebagai ciri kedewasaan, bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat, seekor ayam yang penakutpun akan menjadi galak dan berani ketika mempunyai anak yang masih kecil. Kita bisa mengambil hikmah dari hal ini, bahwa karakteristik melindungi harus kita miliki agar salah satu ciri kedewasaan terpenuhi.
Selain karakter melindungi, bentuk keberanian lain adalah kemandirian. Seorang dewasa, akan sangat malu apabila selalu menggantungkan diri kepada orang lain. Orang yang dewasa, akan berusaha melakukan sesuatu dengan sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain. Coba Anda bayangkan, ketika kita menikah, pastinya mau tidak mau kita harus mandiri. Tidak boleh kita terus menerus bergantung kepada orang tua. Nah, itu sebabnya saya katakan bahwa kemandirian adalah salah satu bentuk keberanian. Walaupun begitu, ini tidak menafikkan sikap meminta tolong, ketika batas kemampuan melingkupi. Coba Anda baca kembali tulisan yang berjudul Meminta Tolong.
Selain karakter melindungi dan kemandirian, sebenarnya sikap mengalah juga merupakan bentuk keberanian. Sifat mengalah adalah sebuah keberanian yang dihiasi oleh kebijaksanaan. Dan bukan merupakan sifat pecundang. Di dalam tulisan yang berjudul Alasan Mengalah, dikatakan bahwa sifat mengalah harus menjadi karakter kita. Tapi, tidak menafikkan tindakan membalas, apabila sikap orang lain sudah keterlaluan. Orang yang bijaksana, mengetahui kapan harus mengalah dan kapan harus membalas.
Ciri yang ketiga, kesabaran. Orang yang dewasa adalah orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan. Ketika ditimpa musibah, kita harus bersabar. Ketika mendapatkan nikmat, bentuk kesabaran kita adalah bersyukur dan menahan diri untuk tidak pamer, meluaskan hati kita untuk berbagi dan bentuk kesabaran yang lain.
Diantara bentuk kesabaran adalah sikap tenang ketika ditimpa musibah. Dengan tidak menjerit-jerit, menjambak rambut dan tindakan negatif lainnya. Manusiawi ketika kita bersedih saat kehilangan sesuatu, tapi diperlukan sebuah kesabaran dalam menyikapinya. Nah, matang atau tidak matangnya pikiran kita bisa dilihat dari hal ini. Memang sangat berat, oleh sebab itu kita harus meminta tolong kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.
Ciri yang keempat adalah tanggung jawab. Tanggung jawab mempunyai arti menjaga dan menunaikan amanah yang diberikan dengan sebaik-baiknya. Setiap manusia mempunyai amanah yang harus ia jaga. Tubuh adalah amanah, keluarga adalah amanah, pekerjaan adalah amanah dan masih banyak lagi. Ketika manusia sudah tidak mau menjaga dan menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya, yang terjadi adalah kerusakan.
Oleh sebab itu, alangkah lucunya ketika ada orang yang tidak sanggup menjaga sebuah amanah, tetapi meminta amanah itu diberikan kepadanya. Apa yang terjadi ketika yang dinamakan amanah itu adalah sebuah masyarakat yang majemuk dalam hal keyakinan, budaya dan pikiran?
Hmmm, sepertinya terlalu berat membahas itu, lebih baik kita membahas tentang menjaga amanah sebagai bentuk kedewasaan saja. Tanggung jawab atau menjaga amanah ini adalah salah satu ciri yang membedakan seorang dewasa dengan seorang yang belum dewasa. Semakin dewasa seseorang, semakin bertanggung jawablah dia. Sebab, dia mengetahui bahwa segala sesuatu ketika dijaga dan ditunaikan dengan sebaik-baiknya, niscaya mendapat hasil yang baik (kecuali Allah subhanahu wa Ta’ala berkehendak lain).
Seperti petani yang menjaga tanamannya, dia rawat dengan sebaik-baiknya. Dia jauhkan dari hama dan burung yang mengganggu. Hasilnya, dia menunggu dengan optimis. Begitupun amanah, ketika dia jaga dengan baik-baik, dia tunaikan dengan baik-baik, hasilnya bisa dia petik dengan penuh optimis. Tapi orang yang bijaksana, tidak begitu mementingkan hasil. Mereka bertanggung jawab karena memang mereka mencintainya sebagai sebuah proses.
Ciri yang kelima adalah kepercayaan diri. Saya tidak menyebutkan percaya diri berarti percaya dengan kemampuan diri sendiri. Saya lebih senang mendefinisikannya sebagai sebuah harapan positif bahwa kita bisa melakukan sesuatu. Ini sebagai sebuah bentuk kerendahhatian kita terhadap Allah subhanahu wa Ta’ala, sebab segala sesuatu adalah milikNya, segala yang kita dapatkan adalah karena karuniaNya.
Berbicara mengenai kepercayaan diri, CR Snyder, professor klinis dari University of Kansas, saat meneliti 200 mahasiswa tingkat awal menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki harapan positif memiliki prestasi lebih baik dan mampu menyelesaikan kuliah lebih cepat daripada mahasiswa yang berpikiran negatif terhadap masa depan mereka. Selain itu, Lewis Curry, Phd, profesor psikologi olahraga dari University of Montana, menguji 106 atlet perempuan, menemukan bahwa atlet yang sukses dalam pertandingan adalah mereka yang memiliki harapan positif terhadap prestasinya. Sebaliknya, mereka yang berpikiran negatif menghasilkan sikap pesimis, dan cenderung gagal meraih hasil yang gemilang.**
Begitupun terhadap orang yang ingin menjadi lebih dewasa, harus mempunyai harapan positif untuk itu. Sebab, hal tersebut merupakan salah satu kekuatan dan pondasi yang diperlukan. Ketika kekuatan dan pondasi tersebut rapuh, dikhawatirkan akan ambruk. Kata ambruk adalah kiasan dari kegagalan dalam meraih kematangan. Kata ini juga bisa berarti, tidak adanya kepercayaan dari orang lain kepada kita. Bagaimana bisa kita berharap agar orang lain percaya kepada kita, sedang kepada diri sendiri saja tidak mempercayainya.
Ciri yang terakhir, berpikir secara luas. Kita pernah membahasnya beberapa bulan yang lalu. Coba Anda baca kembali.